Newssantara.com – Keharaman mengonsumsi babi telah dimaklumi secara luas di kalangan umat Islam, sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 173 dan hadits-hadits Nabi Muhammad saw. Namun demikian di zaman yang makin terbuka seperti sekarang, banyak orang mempertanyakan, mengapa babi diharamkan? Apa alasannya, selain ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi saw?

Ada yang beragumentasi bahwa keharaman itu karena mengandung jenis cacing yang telurnya tidak bisa mati walau sudah dimasak, sehingga tidak sehat bila dikosumsi. Cacing pita (taenia solium), cacing spiral (trichiella spiralis), cacing usus (fasciolopocis buski), dan semisalnya sering disebut sebagai jenis-jenis cacing yang ada pada babi dan tidak sehat bila dikonsumsi. Selain itu, pola hidup babi yang jorok juga sering dikemukakan sebagai alasan yang memperkuat keharaman mengonsumsi babi.  Namun, argumentasi di atas perlu ditinjau ulang bila dihadapkan pada fakta bahwa kemajuan teknologi dapat menyelesaikan ancaman atau kekhawatiran atas bahaya yang ditimbulkan babi. Demikian pula peternakan babi juga dapat dikelola secara bersih dan higienis. Lalu adakah argumetasi lain yang dapat merasionalisasikan keharaman babi?

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Dalam hal ini, selain karena kenajisannya, keharaman mengonsumsi daging babi juga karena sifat-sifat buruknya, seperti kesenangan dan ketertarikan yang sangat kuat pada hal-hal yang dilarang dan tidak adaya rasa ghairah atau kecemburuan padanya. Padahal setiap makanan pasti mempengaruhi orang yang memakannya, dan sifat-sifat buruk babi lambat laun pasti akan menular kepadanya. Oleh karenanya babi diharamkan. Imam Ibnu Hajar al-Haitami dengan menjelaskan:

قَالَ الْعُلَمَاءُ : وَلِأَنَّ الْغِذَاءَ يَصِيرُ جَوْهَرًا مِنْ بَدَنِ الْمُتَغَذِّي فَلَا بُدَّ وَأَنْ يَحْصُلَ لِلْمُتَغَذِّي أَخْلَاقٌ وَصِفَاتٌ مِنْ جِنْسِ مَا كَانَ حَاصِلًا مِنْ الْغِذَاءِ ، وَالْخِنْزِيرُ مَطْبُوعٌ عَلَى أَخْلَاقٍ ذَمِيمَةٍ جِدًّا مِنْهَا الْحِرْصُ الْفَاحِشُ وَالرَّغْبَةُ الشَّدِيدَةُ فِي الْمَنْهِيَّاتِ وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ فَحُرِّمَ أَكْلُهُ عَلَى الْإِنْسَانِ لِئَلَّا يَتَكَيَّفَ بِتِلْكَ الْكَيْفِيَّةِ الْقَبِيحَةِ

Artinya, “Ulama berkata: ‘Dan mengonsumsi babi hukumya haram karena makakan akan menjadi jauhar (zat) pada tubuh orang yang memakannya, lalu ia pasti akan terpengaruh oleh akhlak dan sifat apa yang dimakannya. Padahal babi diciptakan sejak awal denga nmempunyai sifat-sifat yang sangat tercela, di antaranya kesenangan dan ketertarikan yang sangat kuat pada hal-hal yang dilarang dan tidak adaya rasa ghairah atau kecemburuan padanya. Karenanya orang diharamkan memakanya agar sifat-sifat buruk babi itu tidak tumbuh pada dirinya'. (Ibnu Hajar al-Haitami, Az-Zawajir ‘anil Iqtirafil Kabair, juz II, halaman 68).

Oleh karena itu dahulu ketika komunitas kaum Frank, sekelompok suku Jermanik yang mulai eksis di masa Kekaisaran Romawi, terbiasa memakannya, maka hal itu membuat mereka meledak-ledak menerjang berbagai larangan agamanya, yaitu Nasrani. Bahkan mereka pun tak punya rasa cemburu ketika pasagannya diganggu orang lain.

Hal ini berbeda dengan misalnya. Menurut ulama kambing tidak punya sifat-sifat buruk sebagaimana babi, sehingga memakannya tidak akan menyebabkan orang tertulari sifat-sifat buruk seperti itu. (Al-Haitami, az-Zawajir: II/68). Tentu sebenarnya kambing juga punya sifat buruk, tapi sifat buruknya tidak separah babi, sehingga tujuan utama memakannya yaitu untuk mendapatkan asupan energi bagi tubuh, tidak dapat digugurkan karena bahaya yang lebih besar sebagaimana bahaya memakan babi. Wallahu a'lam.

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman Online


Sumber : Nu Online